YPP AL-MAHSUN KHIDIR NW DASAN TAPEN
Html/Javascript
Minggu, 17 Agustus 2014
ANAK HULTAH NWDI KE-79
MARI KITA RAMAIKAN DAN SUKSESKAN,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
ANAK HUL NWDI KE-79 CABANG GERUNG
DAN DI RANGKAIKAN DENGAN ACARA
- HAUL YAYASAN PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN AL-MAHSUN KHIDIR NW DASAN
TAPEN GERUNG,
- HULTAH BARISAN HIZBULLAH POSKOK SINAR HAMZANWADI ,
PELANTIKAN KEPALA MADRASAH, PERESMIAN LEMBAGA BARU
- SMK NW DASAN TAPEN
- PANTI ASUHAN HAJJAH HALIMAH NW DASAN TAPEN
ACARA:
- PAWAI ANALOGIS ANAK HULTAH NWDI KE-79 SABTU, 30 AGUSTUS 2014
- ACARA PUNCAK PENGAJIAN ANAK HULTAH NWDI KE-79 AHAD, AGUSTUS 2014
Jumat, 08 Agustus 2014
Boikot Produk YAHUDI dan AMERIKA
Ada 1,2 milyar ummat Islam. Jika tiap orang berbelanja Rp 10 juta/tahun, maka ada Rp 12.000 trilyun/tahun. Jangan biarkan uang itu lari ke AS dan Israel karena uang anda akan dibelikan pesawat, tank, peluru untuk membantai ummat Islam di Afghanistan, Iraq, Palestina, dan sebagainya.
Buat perusahaan-perusahaan AS dan pendukung Israel bangkrut karena produknya tidak laku dijual.
Di sini ditulis berbagai produk yang mendukung agresi militer AS dan Israel untuk membantai ummat Islam. Di sini juga ada produk alternatif yang bisa anda gunakan.
Jika anda makan bersama keluarga anda di restoran AS seperti McDonalds, KFC, Pizza Hut, dsb, ingatlah bahwa uang anda akan dipakai untuk senjata guna membantai keluarga Muslim di Palestina.
Restoran:
Arbys, Baskin Robbins, Chilies, Dominos Pizza, Hardees, Jack in the Box, Kantez, KFC, McBurger, McDonalds, Paridies, Pizza Hut, Pizza Little Sitzer, Slizer, Texas, Wimpy
Alternatif: Sederhana, Simpang, Abuba, Mbok Berek, Suharti, Wong Solo, Sabana Fried Chicken
Produsen Makanan & Minuman AS:
Minuman:
- Pepsi dan anak perusahaannya: Mirinda dan 7up
- Coca-Cola dan anak perusahannya Sprite dan Fanta
Produk Alternatif: Mecca Cola, Teh Botol
Produk Hanes and Crystal: Mayonnaise, Kecap
California Garden and Warner & Lambert
T-Shirt, Sepatu: Semua baju dan sepatu merk Nike, Adidas, Kate dan Calvin Klein
Alternatif: Sepatu Bata dan Baju buatan dalam negeri
Peralatan Listrik : Power, Union Air, Clifinitour , Admiral, Harmony, Alaska, Duncan, Motorola, Alcatel.
Alternatif: Broco
Baterei: Everydy, Energizer dan Doorsill. Alternatif: ABC
Mobil: Ford, Chrysler, Hammer, Chevrolet, Puck. Alternatif: Toyota, Honda, Suzuki
Media TV: CNN, Fox. Alternatif: Aljazeera
Dan Semua produk General Electric
Perusahaan-Perusahaan AS yang mendanai Zionisme Internasional:
A & M FOODS
A & W BRANDS
A. CAMACHO, INC .
A. ZEREGA’S SONS
A. PANZA & SONS
A.E. STALEY MANUFACTURING COMPANY
A.J. ALTMAN
A.L. BAZZINI CO
A ARHUS, INC
ABBA AB BEIJER COMPANY
ABCO LABORATORIES
ABEL & SCHAFER
ABELES & HEYMANN
ABRAHAM’S NATURAL FOOD
ACCRU PAC GROUP
ACE BAKING CO .
ACIME SMOKED FISH CORP
ADAMS VEG. OILS
ADAM MILLING
ADRIENNE’S GOURMET FOODS
ADVANCED SPICE & TRADING
AG PROCESSING
AGRO FOODS
AIR PRODUCTS & CHEMICALS,INC
AJINOMOTO, U.S.A
AK PHARMA, INC
AKZO & PACIFIC OLEOCHEMICALS
ALBERTO-CULVER COMPANY
ALBRIGHT & WILSON CO .
ALCAN FOIL PRODUCTS
ALEX FRIES & BROS .
ALGOOD FOOD COMPANY
ALL STAR FOODS
ALLE PROCESSING
LLEN FOOD PRODUCTS
ALLFRESH FOOD PRODUCTS
ALLIED CUSTOM GYPSUM COMPANY
ALLIED FOOD DISTRIBUTORS
ALLTECH
ALEO FARMS
ALTA DENA
ALUMAX FOILS
Bahan-bahan Kimia dan pembersih:
1. PT. Procter and Gamble (memproduksi: Oloiez, Pampers, Ferry, Downy, Ariel, Tide, Head and Shoulder, Pantene, Camay, Zeset, Mack Factor, Carmen)
2. PT. Johnson & Johnson (memproduksi: Shower to Shower, Cream Johnson)
3. Nectar
4. Avon
5. Revlon
6. Gardena
7. Pasta gigi Corset
Alat Tulis: Bulpen merk Shiver, Parker dan Hear
Bank Amerika: Bank America International, American Express, Bank of America, Bank of New York
Lain-lain: Rokok AS seperti: Marlboro, Kant, Janstown, Lark, Merit, Gold Cost, Carlton, LM, More.
Oli: Top 1. Alternatif: Fastron
Komputer: IBM, Mac, SUN, Intel. Alternatif: AMD, Toshiba, Sony
Software: Microsoft. Alternatif: Linux, Open Office, dan produk Open Source
Media Massa: CNN, Fox, VOA. Alternatif: Aljazeera, Hamas TV, MQTV
Perusahaan AS yang menguras kekayaan negara Islam seperti Indonesia sebesar Rp 2.000 trilyun/tahun (PENA)
Minyak dan Gas: Chevron, Exxon-Mobil, Standard Oil, Halliburton
Tembaga dan Emas: Freeport
Alternatif: Nasionalisasi perusahaan tersebut jadi BUMN
Ummat Islam juga harus mewaspadai Pasar Modal yang dijadikan alat oleh kapitalis Yahudi untuk mengambil-alih perusahaan-perusahaan dan BUMN-BUMN di negara-negara Islam ke tangan mereka. Spekulan kelas kakap seperti George Soros dengan Quantum Fund-nya siap mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut lewat Pasar Modal. Alternatif: waspadai privatisasi BUMN, sebaliknya Nasionalisasi perusahaan-perusahaan yang vital bagi negara.
Pasar Valas juga jadi satu pintu bagi spekulan Yahudi untuk menghancurkan mata uang kertas negara-negara di dunia. Alternatif: gunakan / patok dengan uang Dinar Emas dan Dirham Perak.
Pasar Komoditas alat bagi kapitalis Yahudi untuk menguasai produk-produk penting dunia seperti minyak yang mereka naikkan harganya dari US$ 24/barrel pada tahun 2002 menjadi US$ 147/barrel pada tahun 2008.
Ummat Islam harus mewaspadai: Pasar Modal, Pasar Valas, dan Pasar Komoditas sebagai pintu masuk bagi kapitalis Yahudi AS.
Para ulama pendukung boikot produk AS dan Israel adalah:
1. Prof. DR. Yusuf Qardhawi, Ulama dan Cendekiawan Muslim kondang di seluruh dunia. Kini tinggal di Doha, Qatar.
2. Syeikh Salman bin Fahd Al Audah, ulama’ kharismatik dari Arab Saudi
3. Syeikh Muhammad Saed Ramadhan al Buthi, ulama’ kharismatik tinggal di Suriah
4. Syeikh Abdullah al Jibrin, ulama’ Arab Saudi dan anggota Persatuan Ulama Besar Arab Saudi
5. DR. Hammam Saed dan DR. Muhammad Abu Faris, Intelektual Muslim tinggal Amman, Yordania.
6. DR. Naser Farid Wasil, Mufti Mesir
7. Fatwa Majelis Ulama Sudan
8. Fatwa Majelis Ulama Palestina
Tulisan ini telah dimodifikasi dan ditambah dengan produk tambahan serta alternatifnya dan juga kekuatan ekonomi Yahudi AS. Silahkan sebar ke teman-teman dan keluarga anda.
Kamis, 07 Agustus 2014
SEJARAH BERDIRINYA NAHDLATUL WATHAN
POTRET KELUARGA TUAN GURU KYAI HAJI
MUHAMMAD ZAINUDDIN ABDUL MADJID
A. KELAHIRAN TUAN GURU KYAI HAJI MUHAMMAD ZAINUDDIN ABDUL MADJID
- Kelahiran
Tuan
Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid yang nama kecilnya
Muhammad Saggaf dilahirkan pada hari Rabu, 17 Rabi’ul Awal 1326 [1904
M] di Kampung Berini, Desa Pancor, Kecamatan Rarang Timur [Sekarang
Kecamatan Selong] Lombok Timur Nusa Tenggara Barat.
Adalah
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid, yang namanya
disingkat HAMZANWADI [Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid Nahdlatul
Wathan Diniyah Islamiyah], yang akrab dipanggil Maulana Syaikh atau juga
akrab dengan panggilan “Tuan Guru Pancor”, oleh para murid dan
jamaahnya secara umum, semasa kecilnya diberi nama Muhammad Saggaf oleh
ayahnya sendiri, yaitu Tuan Guru Haji Abdul Madjid.
Terdapat
keunikan lain seputar kelahirannya, yaitu adanya cerita gembira yang di
bawa oleh seorang wali, bernama Syaikh Ahmad Rifa’i yang juga berasal
dari Maghrabi. Ia menemui Tuan Guru Haji Abdul Madjid menjelang
kelahiran putranya. Syaikh Ahmad Rifa’i berkata kepada Tuan Guru Haji
Abdul Madjid “Akan segera lahir dari istrimu seorang anak laki-laki yang akan menjadi ulama besar”.
Muhammad
Saggaf adalah anak bungsu dari enam bersaudara, yaitu; Siti Sarbini,
Siti Cilah, Hajah Saudah, Haji Muhammad Shabur dan Hajah Masyithah.
Keenam putera-puterinya ini merupakan hasil perkawinan Tuan Guru Haji
Abdul Madjid dengan seorang perempuan yang shalihah, berasal dari desa
Kelayu Lombok Timur, bernama Inaq Syarn dan lebih dikenal dengan Hajah
Halimatussa’diyah.
Nama
Muhammad Saggaf masih disandangnya sampai ia berangkat ke Tanah Suci
Makkah untuk melaksanakan ibadah haji bersama ayahnya. Setelah
menunaikan ibadah haji, nama Muhammad Saggaf diganti menjadi Haji
Muhammad Zainuddin oleh ayahnya sendiri.
Ikhwal
penggantian nama ini, dilatar belakangi oleh ketertarikan ayahnya
kepada nama seorang ulama yang memiliki kepribadian dan akhlak mulia,
yaitu Syaikh Muhammad Zainuddin Senawak, seorang ulama di Masjid
al-Haram. Sejak saat itu namanya kemudian berubah menjadi Haji Muhammad
Zainuddin.
Tuan
Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid selama hayatnya telah
menikah sebanyak tujuh kali. Dari ketujuh perempuan yang pernah
dinikahinya itu, ada yang mendampinginya sampai wafat, ada yang wafat
terlebih dahulu semasih ia hidup dan ada juga yang diceraikannya setelah
beberapa bulan menikah. Di samping itu, ketujuh perempuan yang telah
dinikahinya itu, berasal dari berbagai pelosok daerah di Lombok, dan
dari berbagai latar belakang. Ada yang berasal
dari keluarga biasa dan ada pula yang berlatar belakang bangsawan,
seperti istrinya yang bernama Hajah Baiq Siti Zuhriyah Mukhtar, berasal
dari Desa Tanjung, Kecamatan Selong.
Adapun
nama-nama perempuan yang pernah dinikahi oleh Tuan Guru Kyai Haji
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, adalah: 1] Chasanah; 2] Hajah Siti
Fatmah; 3] Hajah Raihan; 4] Hajah Siti Jauhariyah; 5] Hajah Siti
Rahmatullah; 6] Hajah Baiq Siti Zuhriyah Mukhtar; dan, 7] Hajah Adniyah.
Selanjutnya
dari ketujuh orang perempuan yang dinikahinya, Tuan Guru Kyai Haji
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, hanya mendapatkan dua orang puteri,
yakni Siti Rauhun dari perkawinannya dengan Hajah Siti Jauhariyah dan
Siti Raihanun dari perkawinannya dengan Hajah Siti Rahmatullah.
Hajah
Siti Jauhariyah adalah seorang perempuan yang tenkenal cantik, hingga
pada masa gadisnya, onang sering menyebutnya sebagai “Kembang dari
Kampung Jawa”. Disebut demikian karena ia adalah puteri dari perkawinan
antara seorang wanita Selong yang bernama Masnah dan pria berasal dan
Jawa yang bernama Abdurrahim. Abdurrahim
adalah seorang muballigh yang mengembangkan ajaran Islam di Kampung
Jawa. Tugas sehari-harinya adalah sebagai seorang pejabat pemerintah
pada waktu itu.
Hajah
Siti Jauhariyah dipersunting oleh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad
Zainuddin Abdul Madjid pada usia yang sangat muda, yaitu ketika berusia
12 tahun. Setelah menikah pasangan ini tidak langsung tinggal serumah.
Mereka baru tinggal serumah setelah Hajah Siti Jauhariyah berusia 19
tahun.
Pada
tahun 1947, ketika Siti Jauhariyah telah berusia sekitar 20 tahun, ia
dinyatakan positif hamil. Kehamilan ini disambut dengan senang dan
gembira, karena setelah lama menikah Tuan Guru Kyai Haji Muhammad
Zaiuddin belum juga diberikan keturunan oleh Allah SWT. Ia bahkan pernah
dikatakan mandul dan tidak akan mendapatkan keturunan.
Mendengar
informasi kehamilan Siti Jauhariyah, Tuan Guru Kyai Muhammad Zainuddin
segera datang ke rumahnya untuk menantikan saat-saat kelahiran anak
pertamanya. Pucuk dicinta ulam tiba. Jabang bayi yang ditunggu-tunggu
lahir dengan selamat dan berjenis kelamin perempuan. Ia kemudian diberi
nama Siti Rauhun. Nama tersebut diambil dari bahasa Arab yang artinya
“kegembiraan/ kenikmatan”.
Sedangkan
puteri keduanya diberi nama Siti Raihanun, yang akrab dipanggil Ummi
Raihanun. Sebagaimana disebutkan di atas, puteri kedua adalah buah dari
perkawinannya dengan Hajah Siti Rahmatullah.
Siti
Rahmatullah adalah puteri dan Guru Hasan, seorang imam khatib di Masjid
distrik Rarang. Perkenalan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin
dengan Siti Rahmatullah tenjadi ketika pada suatu hari ayahnya datang
bersilaturrahmi ke rumah Guru Hasan di Rarang. Saat itulah ia
mengutarakan keinginannya untuk menikahkan puteranya dengan puteri Guru
Hasan.
Karena
waktu itu Siti Rahmatullah masih sangat kecil dan belum mempunyai
keinginan sama sekali untuk menikah, Tuan Guru Haji Abdul Madjid hanya
berjanji akan menikahkan puteranya dengan Siti Rahmatullah. Semenjak itu hubungan di antara kedua keluarga ini terbangun dengan sangat erat. Setiap
tahun Tuan Guru Haji Abdul Madjid bersilaturrahmi ke Rarang, demikian
pula sebaliknya. Setelah mencapai usia yang cukup, barulah keduanya
dinikahkan. Dan dari pernikahan ini kemudian lahir seorang puteri yang
diberi nama Siti Raihanun.
Adapun dari istrinya yang lain, ia tidak mendapatkan keturunan, baik putra ataupun putri. Dan
karena hanya mempunyai dua orang puteri yang bernama Siti Rauhun dan
Raihanun, ia juga populer dengan sebutan “Abu Rauhun wa Raihanun”.
Beliau mengakui bahwa nama kedua puterinya diambil dari Al-Qur’an Surat Al-Waqi’ah ayat 89 yang berbuyi “Fa rauhun wa raiharnen wajannatu na’im”, [maka dia memperoleh ketenteraman dan rezeki serta sorga kenikmatan].
Dari
kedua orang putrinya, ia mendapatkan banyak cucu dan keturunan. Dari
Siti Rahun ia memperoleh enam orang cucu, yaitu: 1] Siti Rahmi Jalilah;
2] Syamsul Lutfi; 3] M. Zainul Majdi; 4] M. Jamaluddin; 5] Siti Suraya;
dan, 6] Siti Hidayati.
Sedangkan
cucunya yang lalir dari Siti Raihanun, sebanyak tujuh orang putra dan
putri, yaitu: 1] Lalu Gede Wiresakti Amir Murni; 2] Lale Laksemining
Puji Jagat; 3] Lalu Gede Syamsul Mujahidin; 4] Lale al Yaqutunnafis; 5]
Lale Syifa’un Nufus; 6] Lalu Gede Zainuddin al-Tsani; dan, 7] Lalu Gede
Muhammad Fatihin.
Keluarga Besar Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid
PENGEMBARAAN MENUNTUT ILMU
A. PENDIDIKAN FORMAL DI LOMBOK DAN BERGURU PADA KYAI LOKAL
Pengembaraan
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid menuntut ilmu
pengetahuan berawal dari pendidikan di dalam keluarga, yakni dengan
belajar mengaji [membaca Al Qur’an] dan berbagai ilmu agama lainnya,
yang diajarkan langsung oleh Ayahnya, Tuan Guru Haji Abdul Madjid.
Pendidikan yang didapatkan dari Ayahnya ini, dimulai sejak berusia 5
tahun. Baru setelah berusia 9 tahun ia memasuki pendidikan formal pada
sebuah sekolah umum yang disebut Sekolah Rakyat Negara [Sekolah
Gubernemen] di Selong Lombok Timur.
Setelah
menamatkan pendidikan formalnya pada Sekolah Rakyat Negara pada tahun
1919 M, ia kemudian diserahkan oleh ayahnya untuk belajar ilmu
pengetahuan agama yang lebih luas lagi pada beberapa kiyai lokal saat
itu, antara lain Tuan Guru Haji Syarafuddin dan Tuan Guru Haji Muhammad
Sa’id dari Pancor serta Tuan Guru Abdullah bin Amaq Dulaji dari Kelayu
Lombok Timur. Dari beberapa kyai lokal ini, Tuan Guru Kyai Haji Muhammad
Zainuddin selain mempelajari ilmu-ilmu agama dengan menggunakan
kitab-kitab Arab Melayu, juga secara khusus mempelajani ilmu-ilmu
gramatika bahasa Arab, seperti ilmu Nahwu dan Sharf.
Menjelang
musim haji tahun 1341 [1923 M], Muhammad Saggaf yang saat itu telah
mencapai usia 15 tahun, berangkat ke Tanah Suci Makkah dengan diantar
langsung oleh ayah dan ibunya bersama tiga orang adiknya, yaitu: H.
Muhammad Faishal, H. Ahmad Rifa’i dan seorang kemenakannya. Bahkan ikut
serta dalam rombongan ini, salah seorang gurunya, yaitu Tuan Guru Haji
Syarafuddin dan beberapa anggota keluarga dekat lainnya.
B. BELAJAR DI TANAH SUCI MAKKAH
Masa Belajar
Ketika
sampai di Makkah Zainuddin Muda belajar pertama kali pada Syeikh
Marzuki, Syeikh Marzuki adalah seorang keturunan Arab kelahiran
Palembang. Ia sudah lama tinggal di Makkah dan mengajar mengaji di Masjidil Haram.
Beliau
mempelajani ilmu sastra dengan spesifikasi syair-syair Arab kepada ahli
syair terkenal di Makkah, yakni Syaikh Muhammad Amin al-Kutbi. Pada
saat itulah ia berkenalan dengan Sayyid Muhsin al-Palembani, seorang
keturunan Arab kelahiran Palembang. Ternyata ia kemudian menjadi gurunya
di Madrasah al-Shaulatiyah. Sayyid Muhsin juga pendiri Madrasah Darul
Ulum yang saat itu amat terkenal di Makkah dan sebagian besar muridnya
berasal dari Indonesia.
Dua
tahun setelah terjadinya huru hara di Tanah Suci Makkah, stabilitas
keamanan relatif terkendali. Pada saat itu Muhammad Zainuddin berkenalan
dengan seseorang yang bernama Haji Mawardi dari Jakarta. Dari
perkenalan itu, Zainuddin diajak untuk masuk belajar di sebuah madrasah
legendaris di Tanah Suci, yakni Madrasah al-Shaulatiyah. Madrasah ini
didirikan pada tahun 1219 H, oleh seorang ulama besar imigran India,
yaitu Syaikh Rahmatullah Ibnu Khalil al-Hindi al-Dahlawi. Madrasah ini
adalah madrasah pertama sebagai permulaan sejarah baru dalam dunia
pendidikan di Saudi Arabia. Gaungnya telah menggema ke seluruh dunia dan
telah menghasilkan banyak ulama-ulama besar dunia.
Muhammad
Zainuddin masuk di madrasah ini, pada tahun 1345 H [1927 M], Madrasah
al-Shaulatiyah di bawah pimpinan cucu dari pendirinya, yaitu Syaikh
Salim Rahtnatullah. Petama kali masuk, ia diantar oleh Haji Mawardi dan
langsung menghadap kepada Syaikh Salim Rahmatullah selaku pimpinan
[Mudir/ Direktur]. Pada hari pertama masuknya, ia bertemu dengan Syaikh
Hasan Muhammad al-Masysyath yang nantinya akan menjadi gurunya yang
hubungannya paling dekat. Di sana juga ia bentemu Syeikh Sayyid Muhsin
al-Musawa, diantara temannya sewaktu belajan syair pada Syeikh Sayyid
Amin al-Kutbi, yang ternyata juga sebagai salah seorang guru di madrasah
ini.
Setiap
thullab baru yang masuk, harus mengikuti tes masuk untuk menentukan
kelas yang tepat dan cocok bagi thullab baru tersebut. Demikian juga
dengan Muhammad Zainuddin, ia diuji juga terlebih dahulu. Dan secara
kebetulan ia langsung diuji oleh Mudir al-Shaulatiyah sendiri, yaitu
Syaikh Salim Rahmatullah dan Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath.
Akhirnya,
Syeikh Hasan Muhammad al-Masysyath menentukannya masuk di kelas III.
Padahal ilmu Nahwu-Sharaf yang belum dikuasai diajarkan di kelas II.
Mendengar keputusan tersebut, ia meminta agar diperkenankan masuk kelas
II, dengan alasan ingin mendalami mata pelajaran Nahwu-Sharaf. Walau
pada awalnya Syeikh Hasan bersikeras dengan keputusannya, namun
argumentasi Muhammad Zainuddin membuatnya berfikir kembali. Kemudian ia
mengabulkan permohonan sang murid. Maka resmilah ia diterima di kelas
II.
Ketekunannya dalam belajar membuahkan hasil. Beberapa
orang gurunya mengakui ia tergolong murid yang cerdas. Syaikh Salim
Rahmatullah selalu mempercayakan kepadanya untuk menghadapi Penilik
Madrasah pemerintah Saudi yang seringkali datang ke madrasah itu,
Penilik madrasah itu menganut faham Wahabi. Dan ia satu-satunya murid
Madrasah al-Shaulatiyah yang dianggap menguasai faham Wahabi. Pentanyaan
Penilik itu biasanya menyangkut soal-soal hukum ziarah kubur, tawassul
kepada Anbiya’ dan Auliya’, bernazar menyembelih kambing berbulu hitam
atau putih dan sebagainya. Dan ia selalu berhasil menjawab pertanyaan
Penilik itu dengan memuaskan.
Ketekunannya
dalam belajar dan bendiskusi juga diakui oleh salah seorang teman
sekelasnya di Madrasah al-Shaulatiyah tersebut, yaitu Syaikh Zakaria
Abdullah Bila, seorang ulama besar di Tanah Suci Makkah. Ia mengatakan:
“saya teman seangkatan Syaikh Zainuddin, saya telah bengaul dekat
dengannya beberapa tahun. Saya sangat kagum padanya. Dia sangat cerdas,
akhlaknya mulia. Dia sangat tekun belajar, sampai-sampai jam keluar
mainpun diisinya menekuni kitab pelajaran dan berdiskusi dengan
kawan-kawannya.”
Prestasi
akademiknya sangat membanggakan. Ia berhasil meraih peringkat pertama
dan juara umum. Di samping itu, dengan kecerdasan yang luar biasa, ia
berhasil menyelesaikan studinya dalam kurun waktu 6 tahun. Padahal lama
belajar normal adalah selama 9 tahun, yaitu mulai dari kelas I sampai
dengan kelas IX. Dari kelas II, ia langsung ke kelas IV. Tahun
berikutnya ke kelas VI, dan kemudian pada tahun-tahun berikutnya secara
berturut-turut naik ke kelas VII, VIII dan IX.
Dengan
tingkat kecerdasan [IQ] yang sangat tinggi ini, Syaikh Zakaria Abdullah
Bila mengatakan, “Syeikh Zainuddin itu adalah manusia ajaib di kelasku,
karena kegeniusannya yang sangat tinggi dan luar biasa, saya sungguh
menyadari hal ini. Syaikh Zainuddin adalah saudaraku, karibku, dan kawan
sekelasku. Saya belum pernah mampu mengunggulinya dan saya tidak pernah
menang dalam berprestasi dikala saya dan dia bersama-sama dalam satu
kelas di Madrasah As-Saulatiyah Makkah.”
Lebih
jauh Syaikh Zakaria menceritakan: “Pernah sehari sebelum ujian, saya
mengambil sebuah kitab di perpustakaan secara diam-diam dan membawanya
pulang Kitab itu hanya satu di perpustakaan, yang berisi mata pelajaran
yang akan diujikan esok harinya. Hal ini saya lakukan dengan sengaja
agar Syaikh Zainuddin tidak bisa menelaahnya, sehingga dalam ujian nanti
dapat mengalahkannya. Ternyata keesokan harinya dalam ujian, dia
benhasil menjawab semua, pertanyaan dengan sangat baik dalam bentuk
syair [puisi] dalam bahasa Arab.”
Tuan
Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid berhasil menyelesaikan
studinya di Madrasah al-Shaulatiyah Makkah pada tahun 1351 H. [1933 M]
dengan predikat istimewa [Mumtaz]. Predikat istimewa tersebut disertai pula dengan perlakuan yang istimewa dari Madrasah al-Shaulatiyah.
Ijazahnya
ditulis tangan langsung oleh seorang ahli khat terkenal di Makkah saat
itu, yaitu al-Khathath al-Syaikh Dawud al-Rumani atas usul dari Direktur
Madrasah al-Shaulatiyah. Kemudian ijazah tersebut ditanda tangani oleh
beberapa orang gurunya. Ijazah tersebut diserah terimakan kepadanya pada
tanggal 22 Dzulhijjah 1353 H.
Setelah
tamat di Madrasah al-Shauladyah, ia tidak langsung pulang ke Indonesia.
Tetapi bermukim lagi di Makkah selama 2 tahun sambil menunggu adiknya
yang masih belajar yaitu Haji Muhammad Faishal. Dua tahun ini
dimanfaatkannya untuk belajar, antara lain belajar ilmu Fiqh kepada
Syaikh Abdul Hamid Abdullah al-Yamani.
Dengan
demikian, waktu belajar yang ditempuh di Tanah Suci Makkah adalah
selama 13 kali musim haji atau kurang lebih 12 tahun. Berarti sampai
pulang ke kampung halamannya, ia sempat mengerjakan ibadah haji sebanyak
13 kali.
Guru-gurunya di Masjid al Haram dan Madrasah al-Shaulatiyah
Selama
dalam pengembaraannya menuntut ilmu pengetahuan di Tanah Suci, dan
Masjid al-Haram hingga Madrasah al-Shauladyah, ia telah menuntut ilmu
dari beberapa orang guru. Mereka adalah sebagai berikut :
1. Maulana wa Munabbina Abul Barakat al-Ushuli al-Muhaddits al-Shufi al-Syaith Hasan Muhammad al-Masysyath al-Maliki
2. A1-’Allamah al-Syaikh Umar Bajunaid al-Syafi’i;
3. A1-’Allamah al-Syaikh Muhammad Sa’id al-Yamani al-Syafi’i;
4. A1-’Allamah al-Kabir al-Mutafannin Sibawaihi Zamanihi al-Syaikh Ali al-Maliki;
5. A1-’Allamah al-Syaikh Marzuqi al-Palimbani;
6. A1-’Allamah al-Syaikh Abu Bakar al-Palimbani;
7. Al-’Allamah al-Syaikh Hasan Jambi al-Syafi’i;
8. A1-’Allamah al-Syaikh Abdul Qadir al-Mandaili al-Syafi’i;
9. Al-’Allamah al-Syaikh Mukhtar Batawi al-Syafi’i;
10. A1-’Allamah aI-Syaikh Abdullah al-Bukhari al-Syafi’i;
11. A1-’Allamah al-Muhaddits al-Kabir al-Syaikh Umar Hamdan al-Mihrasi al-Maliki;
12. A1-’Allamah Muhaddits al-Syaikh Abdus Sattar al-Shiddiqi Abdul Wahab al-Kuthi al-Maliki;
13. A1-’Allamah al-Kabir al-Syaikh Abdul Qadir al-Syibli al-Hanafi;
14. A1-’Allamah al-Adib al-Syaikh al-Sayyid Muhammad Amin al-Kutbiall-hanafi;
15. Al-Syaikh Muhsin al-Musawa al-Syafi’i;
16. Al-’Allamah al-Falaki al-Syaikh Khalifah al-Maliki;
17. Al-’Allamah al-Jalil al-Syaikh Jamal al-Maliki;
18. A1-’Allamah al-Syaikh al-Shalih Muhammad Shalih al-Kalantani al-Syafi’i;
19. A1-‘Allamah al-Sharfi al-Syaikh Mukhtar Makhdum al-Hanafi;
20. Al-’Allamah al-Syaikh Salim Cianjur al-Syafi’i;
21. A1-’Allamah al-Syaikh al-Sayyid Ahmad Dahian Shadaqi al-Syafi’i;
22. A1-’Allamah al-Mu’arnikh al-Syaikh Salim Rahmatullah al-Malild;
23. A1-’Allamah al-Syaikh Abdul Gani al-Maliki;
24. A1-’Allamah al-Syaikh al-Sayyid Muhammad Arabi al-Tubani al Jazairi al-Maliki;
25. A1-’Allamah al-Syaikh Umar al-Faruq al-Maliki;
26. Al-’Allamah al-Syaikh al-Wa’idh al-Syaikh Abdullah al-Fans;
27. A1-’Allamah al-Syaikh Malla Musa;
Di
dalam mengkaji atau mempelajari berbagai disiplin ilmu agama, ia
rnempelajarinya sesuai dengan konsentrasi dan spesialisasi dan
masing-masing guru. Untuk ilmu Tajwid, A1-Qur’an, dan Qira’at
al-Saba’ah, ia belajar pada:
1. A1-’Allamah al-Syaikh Jamal Mirdad;
2. A1-’Allamah al-Syaikh Umar Arba’in;
3. A1-’Allamah al-Syaikh Abdul Lathif Qari’;
4. A1-’Allamah al-Syaikh Muhammad ‘Ubaid.
Sementara pada disiplin ilmu Fiqh, Tashawwuf, Tauhid, Ushul Fiqh dan Tafsir, beliau belajar pada:
1. A1-’Allamah al-Syaikh Umar Bajunaid al-Syafi’i;
2. A1-’Allamah al-Syaikh Muhammad Sa’id al-Yamani;
3. A1-’Allamah al-Syaikh Mukhtar Batawi;
4. A1-’Allamah al-Syaikh Abdul Qadir al-Mandaili;
5. A1-’Allamah al-Faqih al-Syaikh Abdu1 Hamid Abdur Rabb al-Yamani;
6. A1-’Allamah al-Sayyid Muhsin al-Musawa;
7. A1-’Allamah al-Adib al-Syaikh Abdullah al-Lahaji al-Farisi;
Pada disiplin ilmu ‘Arudl [syair bahasa Arab], ia belajar pada:
1. A1-’Allamah al-Syaikh Abdul Ghani al-Qadli;
2. A1-’Allamah al-Adib al-Sayyid Muhammad Amin al-Kutbi;
Pada disiplin ilmu Falak beliau belajar pada:
1. A1-’Allamah Kiyai Salim Cianjur;
2. A1-’Allamah al-Falaki al-Syaikh Khalifah;
3. A1-’Allamah al-Sayyid Ahmad Dahlan;
Pada
disiplin ilmu Hadits, Mushthalah al- Hadits, Mushthalah at-Tafsir,
Fara’idh, Sirah/ Tarikh, dan berbagai ilmu gramatika bahasa Arab [Nahwu,
Sharf], ia belajar pada:
1. A1-’Allamah al-Kabir al-Mutafannin Sibawaihi Zamanihi al-Syaikh Ali al-Maliki;
2. A1-’Allamah al-Jalil al-Syaikh Jamal al-Maliki;
3. A1-’Allamah al-Mubaddits al-Kabir al-Syaikh umar Hamdan;
4. A1-’Allamah al-Syaikh Abdullah al-Bukhari al-Syafi’i;
5. Maulana wa Murabbina Abi al-Barakat al-’Allamah Ushuli al-Muhaddits al-Shufi al-Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath Maliki;
6. Al-Sharfi al-Mahir al-Syaikh Mukhtar Makhdum al-Hanafi;
7. A1-’Allamah al-Syaikh al-Sayyid Muhsin al-Musawa;
8. A1-’Allamah al-Adib al-Sayyid Muhammad Amin al-Kutbi al- Hanafi;
9. A1-’Allamah al-Syaikh Umar al-Faruq al-Maliki;
10. A1-’Allamah al-Kabir al-Syaikh Abdul Qadir al-Syalabi al-Hanafi;
Pada ilmu ‘Awrad, ia belajar pada:
1. A1-’Allamah Kiyai Falak Bogor;
2. A1-’Allamah al-Syaikh Malla Musa al-Maghrabi;
Sedangkan pada disiplin Ilmu al-Khath [Kaligrafi bahasa Arab, Ia belajar pada:
1. Al-Khaththath al-Syaikh Abdul Aziz Langkat;
2. A1-Khaththath al-Syaikh Muhammad al-Rais al-Maliki;
3. A1-Khaththath al-Syaikh Daud al-Rumani al-Fathani.
Jika
diklasifikasikan guru-gurunya berdasarkan latar belakang mazhab yang
berbeda, maka akan terlihat katagorisasi mazhab sebagai berikut:
1. 11 orang bermadzab Syafi’i;
2. 6 orang bermadzab Hanafi; dan
3. 11 orang bermadzab Maliki.
Berdasarkan katagorisasi mazhab di atas terlihat bahwa semua gurunya masih berada dalam satu faham teologis, yakni faham Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.
Dengan kata lain, bahwa tidak ada seorangpun gurunya yang menganut
faham yang berbeda, seperti Mu’tazilah, Syi’ah ataupun Wahabi.
Dalam
konteks menuntut ilmu, khususnya ilmu-ilmu agama yang bersifat praktis,
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid menekankan
pemenuhan aspek-aspek moralitas, seperti sikap efektif dalam memilih
guru dan sikap hormat terhadap guru. Keduanya merupakan jalinan sinergis
yang bermuara pada kemanfaatan ilmu. Dalam terminologi agama,
kemanfaatan ini dikenal dengan istilah barakah, yang secara etimologi
berarti ziyadah al-khairi fi al asyya’ ‘ala ma tsabata fiha al khair [bertambahnya kebaikan pada sesuatu yang mengandung unsur kebaikan].
MASA PENGABDIAN DI TANAH AIR
1. Membuka Pesantren Al-Mujahidin Dan Pengajian Umum
Tuan
Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid setelah selarna 12 tahun
menuntut ilmu di Tanah Suci Makkah al-Mukarramah, diperintah gurunya,
Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath kembali ke kampung halamannya di
Indonesia untuk menyebarkan ilmu pengetahuan dan mendorong terbentuknya
tatanan moralitas dan akhlaq yang mulia di kalangan saudara seiman dan
masyarakat pada umumnya. Perintah gurunya ini, sempat ditolaknya dengan
mengemukakan argumentasi, bahwa ia masih ingin tetap belajar, bahkan ia
ingin tetap tinggal dan mengabdi di Tanah Suci saja. Namun gurunya tetap
menolak argumentasinya itu, karena peranannya di Indonesia akan lebih
bermanfaat bagi pengembangan keilmuan dan pemberdayaan terhadap
masyarakat, dibandingkan jika ia tetap berada di Makkah.
Setelah
sampai di tanah kelahirannya, masyarakat langsung mempercayainya
sebagai imam dan khatib. Jabatan sebagai imam dan khatib pada saat itu
merupakan posisi yang penting dalam masyarakat, setidaknya, karena
posisi tersebut umumnya diisi oleh seseorang yang memiliki kapabilitas
keilmuan yang tinggi, atau biasa disebut “Tuan Guru” dalam kultur
masyarakat Lombok.
Disamping
menjadi imam dan khatib, ia juga banyak melakukan safari dakwah ke
berbagai tempat di pulau lombok, sehingga ia mulai dikenal secara luas
oleh masyarakat. Masyarakat menyebutnya sebagai seorang anak muda ‘alim
yang memiliki integritas keilmuan, sehingga ia disebut dengan “Tuan Guru Bajang”.
Sebutan Tuan Guru Bajang
diperoleh setelah melalui serangkaian proses uji di tengah-tengah
masyarakat. Sekedar contoh, Tuan Guru Haji Mukhtar dari Mamben tidak
dengan serta merta mengamini sebutan tersebut. Ia melakukan verifikasi
terlebih dahulu dengan sejumlah pertanyaan sebagai test case terhadap
kapabilitas keilmuannya. Setelah memperoleh jawaban-jawaban yang
memuaskan, maka Tuan Guru Haji Mukhtar mengakui kemampuannya, bahkan
bertekad untuk mengirim anggota keluarganya untuk menimba ilmu padanya.
Setelah
mempunyai reputasi di masyarakat, ia kemudian mendirikan pesantren
al-Mujahidin pada tahun 1934 M. sebagai tempat pembelajaran agama secara
langsung bagi kaum muda. Pendirian ini dilatar belakangi oleh keinginan
untuk memberikan pelajaran agama yang lebih bermutu kepada masyarakat,
karena pada saat itu umumnya para tuan guru dalam mengajarkan agama
lebih banyak menggunakan kitab-kitab Arab Melayu, seperti Bidayah, Perukunan, dan Sabil al-Muhtadin.
Pada
awalnya Pesantren al-Mujahidin menerapkan sistem pembelajaran dengan
metode halaqah. Namun kemudian sistem ini dipandang kurang efektif,
karena pertama, sulitnya mengukur tingkat keberhasilan prestasi santri,
dan kedua, tidak dapat mengawasi secara maksimal proses pembelajaran
yang efektif. Akan tetapi, untuk menggantinya dengan sistem klasikal
murni, masih menghadapi kendala, terutama pada persoalan kategori usia
santri. Untuk itulah maka ia memperkenalkan sistem semi klasikal, dengan
gambaran ada beberapa perangkat kelas, seperti papan tulis, sementara
para santri tetap duduk di lantai dengan bersila. Di samping itu, masih
belum ada pembatasan usia.
Sistem
semi klasikal ini, ternyata menarik perhatian masyarakat setempat dan
juga sangat di senangi oleh para santri. Hingga dalam waktu yang singkat
telah terdaftar ± 200 orang santri. Para santri tidak saja berasal dari
desa Pancor, tetapi juga dari luar. Melihat fenomena ini, ayahnya
langsung nembuat lokal-lokal kelas darurat di serambi dan di belakang
rumahnya. Prosesi belajar mengajar di pesantren ini, berlangsung dari
pukul 05.00 - 06.00 WIT, yang dikhususkan untuk masyarakat dari kalangan
orang-orang tua. Mereka juga disediakan waktu pada malam hari. Adapun
untuk anak-anak muda pelajaran dimulai dari jam 14.00 - 17.00 WIT.
Reputasinya
semakin menjulang di kalangan masyarakat, sehingga ia diminta untuk
memberikan pengajian tetap di Masjid Jami’ Pancor, Lombok Timur. Pengajian
tersebut dimulai dari jam 09.00 - 12.00 WIT [sampai tiba waktu dzuhur].
Pengajian tersebut dihadiri oleh masyarakat luas, dari kalangan tua,
muda dan bahkan para tuan guru, seperti Tuan Guru Haji Abu Bakar Sakra,
Abu Atikah, Tuan Guru Haji Azhar Rumbuk, Raden Tuan Guru H. Ibrahim
Sakra, dan lain-lain. Bahkan juga hadir gurunya yang bernama Tuan Guru
Haji Syarafuddin dari Pancor, turut juga dalam pengajian tersebut Haji
Ahmad Jemberana dari Bali.
Kitab-kitab yang dikaji dalam pengajian tersebut adalah kitab Minhaj al-Thalibin, Jam’al al-Jawami, Qatr al-Nada, Tafsir al-Jalalain dan lain-lainnya dari kitab-kitab Fiqih dan Tafsir.
MENDIRIKAN MADRASAH NAHDLATUL WATHAN DINIYAH ISLAMIYAH [NWDI]
Keberhasilan
TGH. Zainuddin dalam memberikan pengajian menimbulkan banyak iri dari
orang lain yang merasa tersaingi, berbagai cobaan, tantangan, dan
berbagai reaksi minor dari masyarakat belum reda, maka ada sebuah
harapan datang, ketika seorang familinya, Haji Syazali menawarkan
tanahnya menjadi tempat pendirian madrasah. Tawaran tersebut diterima
dengan senang hati.
Untuk
merespon tawaran tersebut, Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul
Madjid, kalangan keluarganya dan tokoh-tokoh masyarakat bermusyawarah
untuk merealisasikan cita-cita mendirikan madrasah. Fisik bangunan madrasah pada awalnya tendiri dari 10 [sepuluh] lokal kelas yang terdiri dari: 2 [dua] lokal untuk Bustan al-Athfal, 7 [tujuh] lokal untuk ruang belajar; dan 1 [satu] lokal untuk ruang guru/kantor. Bangunannya sangat sederhana, bendinding pagar, dengan tiang bambu dan beratap genteng.
Setelah
pembangunan fisik madrasah dianggap selesai dan telah dirumuskan
berbagai persiapan untuk aktifitas belajar-mengajar, maka Tuan Guru Kyai
Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid mengajukan sebuah permohonan
pendirian madrasah kepada pemerintah Hindia Belanda Kontrober Oost
Lombok di Selong Lombok Timur. Kemudian pemerintah Belanda memberikan
surat izin akte pendirin madrasah tersebut pada tanggal 17 Agustus 1936
M. Selanjutnya selang satu tahun berikutnya, yakni pada tanggal 15
Jumadil Akhir 1356 H, yang bertepatan dengan tanggal 22 Agustus 1937
madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah lslamiyah [NWDI] diresmikan.
Bagi
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, tanggal 17 Agustus
1936 di atas memiliki makna signifikan dan monumental, karena 9
[sembilan] tahun kemudian, yakni tanggal 17 Agustus 1945, bangsa
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Kondisi ini merupakan hikmah
tersendiri dalam perjalanan sejarah Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyyah
Islamiah.
Nahdlatul
Wathan Diniyah Islamiyah sebagai nama madrasah, adalah nama yang
berasal dari bahasa Arab. Secana etimologis, Nahdlah, berarti
penjuangan, kebangkitan, dan pergerakan. Wathan, berarti tanah, bangsa
atau negara. Sedangkan Diniyah Islamiyah, berarti agama Islam. Nama
tersebut merefleksikan suasana psikologis dan kondisi sosial pada saat
itu, terutama yang berkaitan dengan jargon-jargon jihad’ [penjuangan]
untuk menggelorakan semangat patriotisme dalam melakukan perlawanan
terhadap penetrasi kolonialisme Belanda dan Jepang, serta upaya
memberdayakan pendidikan untuk mencerdaskan masyarakat yang sedang
terpuruk dan terbelakang.
Dalam operasionalisasinya, Madrasah NWDI pada mulanya diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan, yaitu: tingkat Ilzamiyah, Tahdhiriyah dan Ibtida’iyah. Tingkat Ilzamiyah
adalah tahap pernsiapan dengan lama belajar satu tahun. Murid-murid
pada tingkatan ini terdiri dari anak-anak yang belum mengenal huruf Arab
dan huruf latin. Tingkat Tahdhiriyah adalah kelanjutan dari tingkat Ilzamiyah
dengan lama belajar tiga tahun. Murid-muridnya selain berasal dari
lulusan tingkat Ilzamiyah, juga diterima lulusan dari sekolah dasar [Volgschool]. Materi pelajaran yang diberikan adalah tauhid, fiqh, dan pengetahuan dasar Qawa’id al-Lughah al-Arobiyyah. Sedangkan tingkat Ibtida’iyah adalah tingkatan terakhir setelah Tahdhiriyah dengan lama belajar empat tahun. Tingkatan ini selain menerima murid dari lulusan Tahdhiriyah, juga menerima dari lulusan sekolah dasar [volgschool]. Materi pelajaran pada tingkatan ini difokuskan pada materi Kitab Kuning, seperti Nahwu, Sharf Balaghah, Ma’ani, Badi’, Bayan, Manthiq, Ushul al-Fiqh, Tashawwuf dan lain-lain. Khusus pada kelas tenakhir [rabi’ ibtida’iy],
semua pelajaran agama mengacu kepada kurikulum madrasah
al-Shaulatiyyah. Aktivitas belajar mengajar pada semua tingkatan dimulai
dari pukul 07.30 - 13.00 WITA.
Madrasah
ini selanjutnya terus mengalami kemajuan dan perkembangan sehingga oleh
pendirinya pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H, bertepatan dengan
tanggal 22 Agustus 1937 M, dipandang sebagai momentum kemenangan moral
perjuangan menegakkan syiar Islam. Sehingga saat itu dan setiap tahunnya
diperingati sebagai hari ulang tahun berdirinya madrasah Nahdlatul
Wathan Diniyah Islamiyah yang kemudian populer disebut dengan HULTAH
NWDI.
Berdirinya
madrasah NWDI di Pancor, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, pada tahun
1937, mencatat sejarah baru dalam perkembangan pendidikan Islam di Nusa
Tenggara Barat. Paling tidak dengan penerapan sistem klasikal dan
klasifikasi siswa berdasarkan tingkatan, maka orang mulai mengenal
pendidikan Islam dengan sistem klasikal dan berjenjang, sebagaimana
pendidikan umum, seperti Sekolah Rakyat, atau sekolah-sekolah yang
didirikan pada masa kolonial. Atas dasar inilah, madrasah ini dipandang sebagai pelopor pendidikan Islam modern di NTB.
MENDIRIKAN MADRASAH NAHDLATUL BANAT DINIYAH ISLAMIYAH [NBDI]
Berangkat
dari kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh Madrasah NWDI, kemudian
melahirkan gagasan untuk mendirikan lembaga pendidikan agama yang
dikhususkan untuk kaum perempuan. Karena, pada masa Pesantren Al-Mujahidin, mereka juga mendapat kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki.
Gagasan
mendirikan madrasah dimaksud dilatar belakangi oleh kondisi sosial
perempuan pada saat itu yang tersubordinasi oleh hegemoni kaum
laki-laki. Padahal keberadaannya memiliki peranan penting dalam
kehidupan masyarakat. Bentuk peranan aktual perempuan dalam konteks
kehidupan bermasyarakat dimulai dan peranannya sebagai ibu rumah tangga
dalam lingkup keluarga. Peranan ini memiliki signifikansi dalam
pembentukan karakter keluarga, seperti pendidikan anak, yang akhirnya
menentukan karakter masyarakat dalam lingkup yang lebih luas.
Di
sisi lain, gagasan pendirian madrasah khusus untuk kaum perempuan ini,
merupakan pengejawantahan dari hadits Rasulullah SAW mengenai kewajiban
menuntut ilmu bagi kaum perempuan sama dengan kewajiban bagi kaum
laki-laki.
Sebagai
realisasi dari pemikiran-pemikiran tersebut, maka pada tanggal 15
Rabi’ul akhir 1362 H bertepatan dengan tanggal 21 April 1943, resmilah
berdiri sebuah madrasah khusus kaum perempuan yang diberi nama dengan
Madrasah Nahdlatul Banat Diniyyah Islamiyyah [NBDI].
Seperti
halnya Madrasah NWDI, Madrasah NBDI juga memiliki makna khusus bagi
pendirinya. Setidaknya karena tanggal dan bulan berdirinya dikemudian
hari dikenal sebagai hari Kartini sebagai tonggak bagi kebangkitan peran
aktualisasi perempuan di Indonesia. Dalam operasionalisasinya, Madrasah
NBDI dipimpin langsung oleh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin
Abdul Madjid, dan dibantu oleh Ustaz Lalu Faishal, Ustaz Lalu Wildan,
Ustaz Dahmuruddin Mursyid, dan lain-lain.
Pada
awalnya, Madrasah NBDI dipusatkan di lokasi pesantren al-Mujahidin pada
sebuah bangunan yang terdiri dari tiga buah local, dengan waktu belajar
dari pukul 13.30 - 17.00 WITA. Sementara materi pelajarannya mengacu
kepada kurikulum Madrasah NWDI.
DINAMIKA PERJALANAN MADRASAH NWDI DAN NBDI
Setelah
posisi kedua madrasah induk itu semakin mantap, ditambah berkembangnya
cabang-cabang di berbagai daerah, maka Madrasah NWDI dan NBDI melakukan
upaya-upaya pengembangan konstruktif dalam bidang kurikulum, jenjang,
dan jenis madrasah sesuai dengan perkembangan zaman.
Pada
mulanya, semua kurikulum dan jenjang madrasah disesuaikan dengan sistem
yang berlaku di Madrasah al-Shaulatiyyah Makkah. Namun pada tahun 1951,
tingkat Tahdhiriyah ala Makkah itu di reformulasi menjadi
Ibtida’iyah ala Indonesia, yaitu Madrasah Ibtidaiyah 6 tahun, dengan
kompisisi 60 % pengetahuan agama dan selebihnya, yaitu 40 % diberikan
pengetahuan umum. Dan sebagai kelanjutannya, pada tanggal 2 November
1952 dibuka Sekolah Menengah Islam [SMI] dengan lama belajar tiga tahun.
Pada tahun yang sama, dibuka pula Madrasah Mu’allimin 4 tahun, Madrasah
Mu’allimat 4 tahun, dan Pendidikan Guru Agama Pertama [PGAP]. Seperti
halnya tujuan pendirian SMI, madarasah dan sekolah ini juga bertujuan
menampung lulusan Madasarah Ibtida’iyah 6 tahun.
Selanjutnya
pada tahun 1955/1956 dibuka Madrasah Muballighin dan Muballighat. Pada
tahun 1957 dibuka Madrasah Mu’allimin 6 tahun dan Madrasah Mu’allimat 6
tahun. Keduanya merupakan perubahan dari Madrasah NWDI dan NBDI. Dua
tahun kemudian, pada tahun 1959, diresmikan berdirinya Madrasah Menengah
Atas [MMA], Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, dan Pendidikan Guru
Agama Lengkap [PGAL].
Perkembangan
selanjutnya ditandai dengan dibukanya lembaga pendidikan tinggi.
Dimulai pada tahun 1964, dengan didirikannya Akademi Paedagogik
Nahdlatul Wathan. Selanjutnya pada tahun 1965 dibuka Ma’had Darul Qur’an
Wal Hadits A1-Madjidiyah Asy-Syafi’iyyah Nahdlatul Wathan, yang
mahasiswanya khusus pria dan Ma’had lil Banat yang dibuka pada tahun
1974, dengan mahasiswa khusus perempuan. Pada tahun 1977 didirikan
Universitas HAMZANWADI.
Universitas
yang disebut terakhir di atas, pada mulanya membuka dua fakultas, yakni
Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Ilmu Pendidikan. Dalam perkembangan
selanjutnya, Fakultas Ilmu Pendidikan ini berubah menjadi Sekolah Tinggi
Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan [STKIP] HAMZANWADI dan Fakultas
Tarbiyah dirubah menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah [STIT]. Kemudian
pada tahun 1981 dibuka Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah [STIS], dan pada
tahun 1987 dibuka Sekolah Tinggi Ilmu Hukum [STIH].
Pada
tahun akademik 1987/1988 diresmikan berdirinya Universitas Nahdlatul
Wathan yang berkedudukan di Mataram, Ibukota Propinsi Nusa Tenggara
Barat. Untuk tahap pertama dibuka 4 [empat fakultas], yaitu Fakultas
Teknologi Pertanian, Fakultas Perkebunan, Fakultas Ketatanegaraan dan
Ketataniagaan [FKK], dan Fakultas Sastra [Indonesia, Arab, dan Inggris].
Disamping
pendidikan tinggi, pada tahun 1974 mulai dibuka pendidikan umum,
seperti Sekolah Menengah Pertama [SMP], Sekolah Menengah Atas [SMA],
sekolah kejuruan, yakni Sekolah Pendidikan Guru [SPG].
Di
luar madrasah, sekolah, maupun perguruan tinggi, para santri Madrasah
NWDI dan NBDI melakukan kegiatan pendidikan kemasyarakatan yang diberi
nama Pemberantasan Buta Agama [PBA]. Pendidikan ini dikhususkan bagi
anggota masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi mengikuti pendidikan
formal kemadrasahan.
Perkembangan dibidang kurikulum, semenjak perubahan kurikulum tingkat Tahdliriyyah NWDI terus berlangsung, sehingga terbentuk komposisi, sebagai berikut:
- Madrasah dan PGA mengikuti kurikulum dari Departemen Agama.
- Sekolah umum mengikuti kurikulum yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan [Sekarang Departemen Pendidikan Nasional]
- Madrasah Mu’allimin dan Mu’allimat menggunakan kurikulum agama 55 % dan umum 45 %.
- Perguruan proyek khusus Nahdlatul Wathan memakai kurikulurn agama 90 % dan umum 10 %.
- Perguruan tinggi mengacu kepada kurikulum yang ditetapkan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan kurikulum yang ditetapkan oleh Direktorat Kelembagaan Agama Islam [Bagais] Departemen Agama.
Satu
ciri khas pendidikan di lingkungan Nahdlatul Wathan, disamping
menggunakan kurikulum agama, sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah,
juga diberi pengetahuan agama, yang bersumber dari kitab-kitab karangan
Imam Syafi’i. Hal ini sesuai dengan Anggaran Dasar bahwa Nahdlatul
Wathan menganut mazhab Syafi’i, maka pengetahuan agama dan kitab-kitab
Syafi’i adalah untuk diamalkan di kalangan warga Nahdlatul Wathan. Di
samping itu juga diberikan materi pelajaran Ke Nahdlatul Wathan-an
[Ke-NW-an] sebagai suatu materi pelajaran tersendiri di lingkungan
perguruan Nahdlatul Wathan pada umumnya.
Pesatnya
perkembangan Madrasah di lingkungan Nahdlatul Wathan, membenikan citra
tersendiri bagi pendirinya. Sehingga mendapat julukan sebagai Abu Al-Madaris Wa Al-Masajid [Bapak Madrasah dan Mesjid] oleh komunitas masyarakat Praya, Lombok Tengah.
MENDIRIKAN ORGANISASI NAHDLATUL WATHAN [NW]
1. Pengertian dan Latar Belakang Berdirinya
Organisasi
Nahdlatul Wathan, yang selanjutnya disingkat NW, adalah sebuah
organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak dalam bidang pendidikan,
sosial, dan dakwah Islamiyah. Onganisasi ini didirikan oleh Tuan Guru
Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid pada hari Ahad tanggal, 15
Jumadil Akhir 1372 H bertepatan dengan tanggal 1 Maret 1953 M di Pancor
Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
Adapun
yang melatar belakangi berdirinya organisasi ini adalah karena melihat
pertumbuhan dan perkembangan cabang-cabang Madrasah NWDI dan NBDI yang
begitu pesat, di samping perkembangan aktivitas sosial lainnya, seperti
majlis dakwah dan majlis ta’lim dan lainnya. Untuk itu diperlukan suatu
wadah atau organisasi yang mewadahi dan mengorganisir segala macam
bentuk kebutuhan dan keperluan pengelolaan lembaga-lembaga tersebut
secara profesional.
Kemudian
dalam rangka konsolidasi organisasi, Nahdlatul Wathan telah
melaksanakan rapat anggota untuk tingkat ranting, konfrensi untuk
tingkat Anak Cabang, Cabang, Daerah, Wilayah dan Perwakilan. Sedangkan
untuk tingkat Pengurus Besar diselenggaran muktamar.
Selanjutnya,
setelah mengadakan muktamar I, hingga meninggalnya Tuan Guru Kyai Haji
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, organisasi Nahdlatul Wathan tercatat
telah mengadakan muktamar sebanyak 10 kali. Adapun tempat, tanggal dan
tahun terselenggaranya Muktamar tersebut, adalah sebagai berikut :
1. Muktamar I tanggal 22-24 Agustus 1954 di Pancor
2. Muktamar II tanggal 23-26 Maret 1957 di Pancor
3. Muktamar III tanggal 25-27 Januari 1960 di Pancor
4. Muktamar IV tanggal 10-14 Agustus 1963 di Pancor
5. Muktamar V tanggal 29 Juli .- 1 Agustus 1966 di Pancor
6. Muktamar VI tanggal 24-27 September 1969 di Mataram
7. Muktamar VII tanggal 30 Nopember – 3 Desember 1973 di Mataram
8. Muktamar Kilat Istimewa 28-30 Januari 1977 di Pancor
9. Muktamar VIII tanggal 24-25 Februari 1986 di Pancor
10. Muktamar IX tanggal 3-6 Juli 1991 di Pancor
2. Legalitas Organisasi
Sebagai
sebuah organisasi formal, eksistensi Nahdlatul Wathan mendapatkan
legalitas yuridis formal berdasarkan akte Nomor 48 tahun 1957 yang
dibuat dan disahkan oleh Notaris Pembantu Hendrix Alexander Malada di
Mataram. Akte ini bersifat sementara, karena wilyah yurisdiksinya hanya
di Pulau Lombok, sehingga tidak memungkinkan untuk mengembangkan
organisasi ke luar wilayah yurisdiksi tersebut.
Untuk
itu, dibuat akte nomor 50, tanggal 25 Juli 1960, di hadapan Notaris Sie
Ik Tiong di Jakarta. Kemudian pengakuan dan penetapan juga diberikan
oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. J.A.5/105/5 tanggal 17
Oktober 1960, dan dibuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor
90, tanggal 8 November 1960.
Dengan
legalitas akte kedua ini, maka organisasi Nahdlatul Wathan mempunyai
kekuatan hukum tetap untuk mengembangkan organisasinya ke seluruh
wilayah negara Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke, sehingga
setelah tahun 1960, maka terbentuklah pengurus Nahdlatul Wathan di Bali,
Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta,
Kalimantan, Sulawesi, danlain-lainnya, bahkan sampai ke daerah Riau
dengan status perwakilan.
Dengan
adanya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985 tentang keormasan yang antara
lain berisi tentang penerapan Asas Tunggal bagi semua organisasi
kemasyarakatan, maka Nahdlatul Wathan dalam Muktamar ke-8 di Pancor,
Lombok Timur pada tanggal 15-16 Jumadil Akhir 1406 H atau tanggal 24-25
Februari 1986 mengadakan peninjauan dan penyempurnaan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga organisasi. Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga ini kemudian dikukuhkan dengan Akte Nomor 3l tanggal 15
Februari 1987 dan Akte Nomor 32, juga tanggal 15 Februari 1987, yang
dibuat dan disahkan oleh waki1 Notaris Sementara Abdurrahim, SH. di
Mataram. Dengan demikian, maka jelaslah
eksistensi dan legalitas formal organisasi Nahdlatul Wathan sebagai
sebuah organisasi sosial kemasyarakatan.
3. Aqidah, Asas, Tujuan dan Ruang Lingkup Organisasi
Organisasi Nahdlatul Wathan menganut faham aqidah Islam Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah ‘ala Madzahib al-Iman al-Syafi’i
dan berasaskan Pancasila sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun
1985. Sejak awal berdirinya, organisasi berasaskan Islam dan
kekeluargaan. Asasnya berlaku hingga Muktamar ke-3, dan kemudian diganti
dengan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah ‘ala Madzahib al-Iman al-Syafi’i. Perubahan ini terjadi mengingat khittah perjuangan kedua madrasah induk, NWDI dan NBDI.
Adapun sebagai landasan argumentasi Nahdlatul Wathan menganut aqidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah ‘ala Madzahib al-Iman al-Syafi’i adalah sebagai berikut :
1. Sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwiyatkan oleh Imam Tirmidzi dan Imam al-Bukhari dalam Tarikh al-Kabir al-Baihaqi dalam Syu‘ab al-Imam, Abu Dawud, Ibn Huzaimah, Ibn Hibban dan lain-lain yang artinya :
“Hendaklah
kamu bersama golongan terbesar [mayoritas] dan pertolongan Allah selalu
bersama golongan mayoritas, maka barang siapa yang memisahkan diri
[dari komunitas jama’ah] maka mereka termasuk dalam golongan orang-orang
ahli neraka.” [HR Tirmidzi].
“Allah tidak menghimpun ummat ini dalam kesesatan selama-lamanya dan pertolongan Allah selalu bersama golongan mayoritas.” [HR al-Thabrani].
2. Fakta sejarah menunjukkan bahwa mayoritas umat Islam sedunia dari abad ke abad adalah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dan bermadzhab dengan salah satu madzhab yang empat dari sejak lahir madzhab itu.
3. Umat Islam Indonesia sejak awal telah menganut aqidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dan menganut madzhab Syafi’i sejak madzhab masuk ke Indonesia.
4. Imam-Imam
Hufadz al-Hadits yang telah hafal beratus-ratus ribu hadits yang diakui
oleh kawan atau lawan akan keimanan, ketaqwaan dan keahilan mereka,
serta karangan mereka telah menjadi pokok dan dasar pegangan umat Islam
sedunia sesudah al-Qur’an al Karim, sepenti Imam Bukhari, Imam Muslim,
Imam Abu Dawud, Imam Turmudzi, Imam Baihaqi, Imam Nasa’i, Imam Ibnu
Majah, Imam Hakim dan lain-lainnya dan ratusan Imam ahli al-hadits.
Semuanya menganut aqidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dan bermadzhah
Syafi’i atau yang lainnya dari madzhah yang empat. Demikian juga dari Imam-imam dan ulama fiqh, ushul, tasawwul merekapun menganut aqidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dan juga bermadzhab.
5. Jumhur
ulama ushul menandaskan bahwa orang yang belum sampai tingkatan ilmunya
pada tingkatan mujtahid muthlaq maka wajib bertaqlid kepada salah satu
madzhab empat dalam masalah furu’ syari’ah.
6. Fuqaha
‘Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah mengatakan bahwa bermadzhab bukanlah
berarti membuang atau membelakangi al Qur’an dan Hadits seperti tuduhan
sementara orang. Namun sebaliknya bermadzhab adalah benar-benar
mengikuti Al-Qur’an dan Hadits karena kitab-kitab itu adalah syarah dan
Al-Qur’an dan Hadits itu sendiri.
7. Imam Sayuti yang hidup pada awal abad 10 H yang terkenal sangat ahli dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan Islam. Karangan-karangan
beliau kurang lebih 600 buah kitab, yang sangat penting dan bernilai
tinggi dikalangan Islam. Beliau memperoleh gelar “Amir al-Mukminin Fi al-Hadits”
[raja umat Islam dalam ilmu hadits] karena beliau telah menghafal
ratusan ribu hadits. Pernah suatu ketika beliau menyatakan dirinya telah
mencapai tingkat mujtahid dan terlepas dari madzhab yang diantaranya,
yaitu madzhab Syafi’i. Maka segeralah beliau diserang oleh para Imam
ulama’ fiqh, mufassir, muhaddits dan ahli ushul dengan alasan dan dalil
yang sangat jitu dan tepat. Akhirnya beliau dengan jujur dan penuh
kesadaran mencabut pernyataannya dan kembali bertaqlid serta bermadzhab
dengan madzhab Syafi’i.
8. Madzhab Syafi’i dilihat dari segi sumber atau dasarnya, lebih unggul dibandingkan dengan madzhab-madzhab yang lain.
Sedangkan tujuan organisasi ini adalah Li I’laai Kalimatillah wa Izzi al-Islam wa al-Muslimin dalam rangka mencapai keselamatan serta kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat sesuai dengan ajaran Islam Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah ‘ala Madzahib al-Iman al-Syafi’i Radliyallahu ‘anhu. Tujuan
ini merupakan penggabungan dan tujuan organisasi dan asas organisasi
sebelum Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985 diberlakukan. Peserta Muktamar
ke-8 menghendaki agar asas organisasi terdahulu tidak dihilangkan dengan
adanya ketentuan Asas Tunggal. Kompromi yang dapat dilakukan adalah
memindahkan pernyataan tentang asas Islam tersebut ke dalam tujuan
organisasi, sehingga makna esensial asas tersebut tidak hilang.
4. Lambang Organisasi
Lambang
Organisasi Nahdlatul Wathan adalah “Bulan Bintang Bersinar Lima”,
dengan warna gambar putih dan warna dasar hijau. Lambang ini memliki
makna, sebagai berikut :
a) Bulan melambangkan Islam
b) Bintang melambangkan Iman dan Taqwa
c) Sinar Lima melambangkan Rukun Islam
d) Warna gambar putih melambangkan ikhlas dan istiqomah
e) Warna dasar hijau melambangkan selamat bahagia dunia akhirat
5. Badan-Badan Otonom Organisasi
Organisai
Nahdlatul Wathan merupakan organisasi kader, yang memiliki badan-badan
otonom sebagai wahana pengkaderan bagi kader-kader organisasi di masa
depan. Badan-badan otonom tersebut, terdiri dari:
1. Muslimat Nahdlatul Wathan [Muslimat NW]
2. Pemuda Nahdlatul Wathan [Pemuda NW]
3. Ikatan Pelajar Nabdlatul Wathan [IPNW]
4. Himpunan Mahasiswa Nahdlatul Wathan [HIMMAH NW)
6. Persatuan Guru Nahdlatul Wathan [PGNW]
7. Jam’iyyatul Qura’ wal Huffazh Nahdlatul Wathan
8. Ikatan Sarjana Nahdlatul Wathan [ISNW]
9. Ikatan Puteri Nahdlatul Wathan [Nahdliyat NW], dan
10. Badan Pengkajian, Penerangan dan Pengembangan Masyarakat Nahdlatul Wathan [BP3M]
Badan-badan
otonom ini masing-masing mempunyai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga yang tidak boleh bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga Organisasi Nahdlatul Wathan. Badan-badan otonom ini
bilamana hendak mengadakan hubungan atau tindakan keluar harus terlebih
dahulu mendapat persetujuan Pengurus Besar dan restu Dewan Mustasyar
Pengurus Besar.
Langganan:
Postingan (Atom)